| dc.description.abstract | Pemberhentian Kepala Daerah bisa terjadi karena dua faktor, yang pertama ‘Objektif’ dalam menyelidiki pelanggaran sumpah atau janji jabatan yang dilakukan oleh Kepala Daerah. Yang kedua, ‘Subjektif’ dalam menggunakan kewenangannya yaitu mencari celah untuk memberhentikan Kepala Daerah atas landasan sentimentil. Alasan pemberhentian Kepala Daerah telah diatur dalam Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD). Beberapa masalah yang sering terjadi dalam pemberhentian Kepala Daerah yakni, Kepala Daerah dipilih secara langsung namun mekanisme pemberhentiannya secara tidak langsung (perwakilan) melalui DPRD sehingga tidak sejalan dengan demokrasi, kemudian otonomi daerah tidak dilaksanakan dengan leluasa sebab masih ada peran pemerintah pusat dan juga belum adanya lembaga Yudikatif di daerah yang khusus untuk pemberhentian Kepala Daerah. Setelah kita analisis dari sekian banyak Pasal-Pasal dalam Undangundang Dasar perubahan yang menyangkut mengenai tugas pokok dari Dewan Perwakilan Rakyat, juga dalam UUMD3 1999 juncto UUMD3 2014, dipertegas lagi oleh Tata Tertib DPR No. 16/DPR/RI/1999-2000 jucto Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib, dari wewenang dan tugas DPRD di atas maka dapat dirumuskan bahwa DPRD memilik tiga fungsi, yakni fungsi pengawasan, fungsi anggaran, dan fungsi pembuatan Undang-undang atau legislasi. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya DPRD memiliki beberapa hak yang bisa digunakan untuk menjalankan tugastugasnya sebagai pengawas pemerintahan. Beberapa hak yang dimaksud adalah Hak Angket Hak Interplasi, Hak Menyatakan Pendapat. Adapun mengenai hak angket itu sendiri, definisi yang terdapat dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. | en_US |